Dulu, perempuan seringkali diposisikan hanya sebagai pelengkap. Diam di belakang, berjalan di samping, tapi jarang diberi tempat untuk berdiri di depan. Mereka disebut penurut, pemalu, dan tidak pantas ambil bagian dalam pengambilan keputusan.
Tapi zaman telah berubah, dan perempuan pun ikut berubah. Mereka tak lagi diam, tak lagi menunggu izin untuk bersuara. Kini, perempuan melangkah maju, menyusuri jalan yang dulu tertutup rapat, bahkan menciptakan jalannya sendiri.
Lihat saja sekeliling kita. Perempuan kini bisa berdiri sebagai pemimpin, menjadi direktur, rektor, menteri, hingga kepala daerah. Mereka tak cuma duduk di kursi kelas, tapi juga ikut duduk di kursi parlemen.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), persentase perempuan yang duduk di DPR RI periode 2019–2024 sudah mencapai 20,5%. Meski belum setara dengan laki-laki, ini adalah kemajuan yang patut diapresiasi—bukti bahwa perempuan mulai diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan.
Di sektor ekonomi, peran perempuan juga makin dominan. Berdasarkan data World Bank, hampir 51% perempuan Indonesia kini menjadi bagian dari angkatan kerja.
Lebih menarik lagi, sekitar 64% pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negeri ini adalah perempuan.
Artinya, perempuan bukan hanya pengatur rumah tangga, tapi juga penggerak ekonomi keluarga, bahkan ekonomi nasional.
Namun, di balik langkah-langkah besar yang mereka tempuh, ada tantangan yang tak sedikit. Ada luka yang tersembunyi di balik senyum dan semangat mereka. Sebab realitanya, hingga hari ini, perempuan masih harus berhadapan dengan diskriminasi, stigma, dan kekerasan.
Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2023 saja, ada lebih dari 457 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
Dari kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan di tempat kerja, hingga pernikahan anak yang masih marak di banyak daerah—semuanya menunjukkan bahwa perjuangan perempuan masih jauh dari selesai.
Tak sedikit perempuan yang terpaksa memilih diam. Mereka takut bicara, takut disalahkan, bahkan takut tak dipercaya.
Di banyak kasus, stigma sosial masih menjadi penghalang utama.
Perempuan korban kekerasan kerap kali dianggap membawa aib, bukan sebagai korban yang butuh dukungan.
Namun harapan tetap ada. Negara tidak tinggal diam. Hadirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi payung hukum penting untuk melindungi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan.
Tapi hukum tak akan cukup jika tak didukung kesadaran masyarakat dan keberanian para perempuan itu sendiri untuk bangkit.
Korps HMI-Wati yang biasa di singkat dengan KOHATI, di dirikan pada tanggal 2 jumadil akhir 1386 H bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 pada kongres ke VIII di Solo. Pembentukan KOHATI di latarbelakangi oleh kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan peran HMI-Wati, yang mana sebagai bagian dari pengembangan misi HMI secara luas.
Adapun organisasi yang lahir sebelum KOHATI adalah berbagai organisasi yang bergerak di bidang keperempuanan, baik yang bersifat nasional maupun regional. Contohnya Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI) terbentuk sebagai bagian dari upaya mempersatukan berbagai kelompok wanita untuk menanggapi isu politik dan sosial pada masa itu, termasuk dalam menghadapi gerakan 30 September. dan berbagai kelompok organisasi perempuan lokal yang fokus pada isu-isu lokal. Seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi perempuan.
Di sinilah peran organisasi perempuan menjadi sangat penting. Salah satunya adalah KOHATI, atau Korps HMI-Wati, yang merupakan bagian dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
KOHATI bukan sekadar organisasi berbasis keislaman dan keperempuanan
Ia adalah ruang tumbuh, ruang aman, dan ruang perjuangan bagi para perempuan muda untuk memahami bahwa mereka punya hak yang harus dihargai, dijaga, dan diperjuangkan.
KOHATI bukan hanya tempat berkumpul dan berdiskusi. Ia bisa menjadi pelindung, penggerak, dan penyembuh.
Ia bisa menjadi pelita bagi mereka yang masih berada dalam gelapnya ketidakadilan.
KOHATI bisa menjadi “jembatan” yang menyambungkan perempuan dengan akses hukum, pendampingan psikologis, dan pemberdayaan ekonomi.
Di tangan kader-kader KOHATI yang peka dan peduli, organisasi ini bisa menjadi mesin perubahan sosial yang nyata dan menyentuh kehidupan perempuan paling rentan sekalipun.
Mereka harus berani mengambil peran. Tak hanya sebagai pendamping atau pengamat, tapi juga sebagai pengambil keputusan, pelaksana program, dan pendobrak batas. KOHATI harus menjadi suara lantang ketika perempuan lain dibungkam, menjadi mata tajam untuk melihat ketimpangan, dan tangan kuat yang siap merangkul mereka yang hampir menyerah.
Bayangkan, jika setiap anggota KOHATI bergerak di kampus, di lingkungan, di komunitasnya, menyebarkan pengetahuan tentang hak-hak perempuan, membuka ruang curhat yang aman, dan memperjuangkan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan—maka satu demi satu perempuan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukan.
KOHATI harus bisa menjadi oase—tempat perempuan menemukan harapan. Menjadi “api” yang membakar semangat, bukan “abu” yang tertiup angin.
Mereka harus jadi panutan bagi organisasi perempuan lain, menunjukkan bahwa kesetaraan bukan mimpi yang terlalu tinggi, tapi kenyataan yang bisa dicapai jika diperjuangkan bersama.
Pada akhirnya, perjuangan ini memang tak akan selesai dalam semalam.
Tapi dengan semangat yang tak padam, dengan kerja keras yang terus menyala, dan dengan keberanian yang tak goyah, perempuan Indonesia akan sampai pada titik di mana mereka tak lagi bertanya, “bolehkah aku berdiri?” Tapi akan berkata dengan tegas, “aku di sini, dan aku siap memimpin.”
Penulis : Nurjanah