Lingga, Zonamu.com – Di sebuah sudut kecil di Kota Dabo Singkep, Kabupaten Lingga di antara deretan toko dan hiruk-pikuk kendaraan yang lalu lalang, terdapat sebuah kursi tua, sebuah cermin penuh bercak usia, dan seorang pria yang tak pernah lelah menggenggam guntingnya sejak dua dekade silam.
Dialah Bang Uden, tukang cukur tradisional yang tetap bertahan di tengah menjamurnya barber shop modern.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak tahun 2003, Bang Udin telah setia dengan profesi ini. Dulu, ketika belum banyak salon dan belum ada tren barbershop bergaya ala film Hollywood, tempat cukur Bang Uden adalah pilihan utama warga. Dengan tangan cekatan dan sapaan ramah, ia menyulap rambut yang acak-acakan menjadi rapi dan segar.
“Waktu itu, potong rambut anak-anak cuma tiga ribu, orang dewasa empat ribu. Itu sudah termasuk pijat kepala pakai minyak rambut,” kata Uden, Senin 5 Mei 2025.
Kini, hampir dua dekade berlalu, dunia telah berubah. Di Dabo Singkep, barbershop modern bermunculan. Interior keren, AC dingin, bahkan kadang ada musik hip-hop atau aroma minyak rambut dari merek luar negeri. Namun Bang Udin tetap di tempat yang sama, dengan cermin yang sama, dan semangat yang tak pernah pudar.
Ia memang menaikkan tarifnya. Sepuluh ribu untuk anak-anak, dan lima belas ribu untuk orang dewasa. Tapi, ia tetap mempertahankan satu hal yang tak bisa ditawarkan oleh barbershop manapun kehangatan dan rasa kekeluargaan.
“Buat saya, ini bukan cuma soal cukur rambut. Ini soal silaturahmi. Banyak pelanggan saya sejak kecil sampai sekarang sudah punya anak, masih tetap ke sini,” kata pria berusia 45 tahun itu.
Tak jarang, ia diminta mencukur langsung ke rumah pelanggan. Terutama para orang tua yang sudah tak sanggup berjalan jauh.
“Kalau dipanggil ke rumah, saya tambahin lima ribu saja. Kasihan, mereka biasanya minta ditemani anak atau cucunya, jadi saya layani saja,” ucap udin.
Bang Uden bukan sekadar tukang cukur. Ia adalah saksi hidup perubahan zaman di Dabo Singkep. Di tengah dunia yang bergerak cepat, yang menuntut semuanya harus instan dan modern, ia hadir sebagai pengingat bahwa kesederhanaan dan ketulusan hati masih punya tempat.
Meski usianya tak lagi muda dan persaingan semakin ketat, Bang Udin belum berniat berhenti. Selama tangannya masih kuat menggenggam sisir dan gunting, selama warga masih percaya padanya, ia akan terus hadir di sudut kota untuk mencukur rambut, mendengar cerita, dan menyambung rasa.
“Kalau nanti sudah tak sanggup lagi, mungkin baru saya berhenti. Tapi selama bisa, saya akan terus di sini. Ini bukan cuma kerja, ini sudah jadi bagian dari hidup saya,” katanya, mengakhiri.(*)