Lingga, Zonamu.com – Sinar lampu temaram di Mapolres Lingga menyinari empat sosok pria yang berjalan tertunduk. Rompi tahanan berwarna oranye menyelimuti tubuh mereka, menandai lembar baru dalam hidup yang kini harus dijalani di balik jeruji.
Mereka adalah M, S, HAM, dan HR tersangka dalam kasus pengancaman dan perusakan lahan kelapa sawit milik warga.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Suasana pada Selasa malam, 6 Mei 2025, seolah menggambarkan drama hukum yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik di desa, kini berubah menjadi kenyataan yang menyita perhatian publik.
Penahanan keempat pria ini menjadi klimaks dari ketegangan yang selama beberapa waktu berkembang di masyarakat, terutama bagi para pemilik lahan yang merasa terintimidasi.
Kapolres Lingga, AKBP Pahala M. Nababan, menegaskan bahwa tindakan keempat tersangka tidak bisa ditoleransi. Mereka diduga kuat melakukan pengancaman terhadap warga serta merusak lahan sawit dengan menggunakan senjata tajam.
“Perlu kami tegaskan, lahan tersebut bukan lahan sengketa. Itu sah milik warga yang berada di sekitar lokasi,” kata Pahala, Rabu (7/5/2025).
Penegasan ini penting, di tengah narasi liar yang sempat menyebar bahwa kejadian ini merupakan konflik agraria.
Pasal-pasal berat pun menanti Undang-Undang Darurat tentang kepemilikan senjata tajam dengan ancaman hingga 12 tahun penjara, pasal 170 KUHP tentang pengerusakan dengan ancaman 5 tahun 6 bulan, serta pasal pengancaman.
Namun, dalam proses penangkapan, Pahala menyebut tidak ada perlawanan berarti. “Mereka kooperatif,” ujarnya singkat.
Yang menarik, salah satu tersangka disebut sempat lebih dulu melapor ke Polsek Singkep Barat. Sebuah manuver hukum yang mungkin dimaksudkan untuk mengamankan posisi. Tapi polisi tetap pada prosedur.
“Laporan tetap diproses, namun belum ditemukan bukti yang cukup,” ungkap Kapolres.
Di luar ruang tahanan, peristiwa ini menggugah keresahan masyarakat. Tak sedikit yang mulai berbicara tentang pentingnya menjaga ketertiban dan rasa aman di desa. Sebab sekali hukum dilanggar atas nama klaim sepihak, maka batas antara hak dan ancaman menjadi kabur.
Kini, proses hukum berjalan. Empat orang lelaki menanti nasib di balik dinding tahanan. Sementara di luar, masyarakat berharap agar ini jadi pelajaran bahwa tanah, parang, dan amarah tak pernah bisa menyelesaikan persoalan tanpa ujung, kecuali dengan hukum.(*)